Sumber daya manusia masih menjadi kelemahan bidang ketenagakerjaan untuk memanfaatkan kecerdasan artifisial atau AI. Karena itu, sistem pendidikan dinilai perlu disesuaikan dengan perkembangan teknologi.
Sumber daya manusia yang tersedia di Indonesia dinilai belum siap untuk memanfaatkan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Faktor kemampuan, kapasitas, dan tingkat pendidikan menjadi penyebab.
Ketua Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit mengatakan, perkembangan teknologi AI yang kian pesat tidak dapat dihindari. Secanggih-canggihnya AI, jika tidak bisa dimanfaatkan oleh pekerja, tetap tidak berguna.
”Kapasitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang jadi tantangan utama.Untuk mengimbangi perkembangan teknologi AI yang pesat, industri butuh SDM yang kuat,” ujarnya saat kepada awak media Jakarta, Minggu (14/5/2023).
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2023, terdapat 146,62 juta orang yang termasuk dalam angkatan kerja. Sebanyak 138,63 juta di antaranya bekerja, sedangkan 7,99 juta lainnya pengangguran.
Dari sisi pendidikan, sebanyak 39,76 persen pekerja di Indonesia berpendidikan SD ke bawah, 19,18 persen pekerja berpendidikan SMA, dan 18,24 persen pekerja berpendidikan SMP. Adapun pekerja berpendidikan SMK sebesar 11,31 persen, pekerja berpendidikan diploma IV/S-1/S-2/S-3 sebesar 9,31 persen, dan pekerja berpendidikan diploma I/II/III sebesar 2,2 persen.
Menurut Anton, pekerja di Indonesia masih didominasi lulusan SD dan SMP sehingga cukup sulit untuk memanfaatkan AI dalam pekerjaannya. Sementara itu, lulusan SMK dan pendidikan vokasi masih rendah kontribusinya dalam dunia kerja. Padahal, baik SMK dan vokasi digadang-gadang memiliki ilmu terapan yang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Indonesia itu kerap terlalu berat dalam program, tetapi lemah eksekusinya. Hal ini membuat ada gap (jarak) antara supply dan demand. (Hammam Riza)
”Ini artinya Indonesia perlu merumuskan kembali strategi dunia pendidikannya. Jangan sampai perkembangan teknologi tak mampu diimbangi dengan kapasitas SDM yang ada,” kata Anton.
Perusahaan dan industri, lanjut dia, tentu saja memerlukan SDM yang sudah siap serta mumpuni untuk diterima. Karena itu, lulusan SMK dan vokasi, misalnya, sebaiknya telah dibekali ilmu terkait agar bisa diterapkan secara langsung saat bekerja.
Kehadiran AI perlu disikapi sebagai peluang baru dan membuka lapangan pekerjaan yang baru. Namun, sebelum AI dapat diterapkan secara masif hingga menjangkau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), penguatan SDM perlu menjadi fokus utama.
Hal ini selaras dengan laporan lembaga riset dan teknologi McKinsey pada 2019. Laporan itu memproyeksikan ada 23 juta pekerjaan di Indonesia dapat tergantikan akibat otomasi hingga 2030. Pada saat yang bersamaan, keberadaan AI dapat menciptakan 27-46 juta lapangan kerja. Sebanyak 10 juta di antaranya merupakan jenis pekerjaan baru yang belum pernah ada.
Permasalahan SDM Indonesia ini juga diakui Ketua Umum Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (Korika) Hammam Riza. Dia menuturkan, SDM ini masih menjadi kelemahan bidang ketenagakerjaan untuk hal yang berkaitan dengan kecerdasan artifisial.
Oleh karena itu, pola didik yang masih didominasi oleh teori juga perlu diimbangi dengan peristiwa yang terjadi di lapangan. Hal ini semakin krusial mengingat kehadiran AI dapat mengubah deskripsi atau pola dunia ketenagakerjaan.
Hammam mencontohkan, kebakaran hutan yang sering terjadi pada musim tertentu seharusnya dapat diprediksi, khususnya dalam menggunakan modifikasi cuaca dengan pertimbangan tinggi muka air (ground water level) dan titik panas (hotspot). Namun, tenaga kerja yang Indonesia miliki masih belum mumpuni.
Oleh karena itu, pola didik yang masih didominasi oleh teori juga perlu diimbangi dengan peristiwa yang terjadi di lapangan. Hal ini semakin krusial mengingat kehadiran AI dapat mengubah deskripsi atau pola dunia ketenagakerjaan.